Beranda | Artikel
Manhajus Salikin: Syarat Shalat, Menutup Aurat #04
Kamis, 20 Desember 2018

 

Sekarang bahasan menutup aurat dalam shalat yang terakhir dari bahasan Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di. Ada satu bahasan penting, bagaimanakah hukum jika ada yang terbuka auratnya di tengah-tengah shalat?

 

Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,

وَمِنْ شُرُوْطِهَا : سَتْرُ العَوْرَةِ بِثَوْبٍ مُبَاحٍ لاَ يَصِفُ البَشَرَةَ

وَالعَوْرَةُ ثَلاَثَةُ  أَنْوَاعٍ: مُغَلَّظَةٌ وَهِيَ : عَوْرَةُ المَرْأَةِ الحُرَّةِ البَالِغَةِ فَجَمِيْعُ بَدَنِهَا عَوْرَةٌ فِي الصَّلاَةِ إِلاَّ وَجْهَهَا

وَمُخَفَّفَةٌ وَهِيَ : عَوْرَةُ ابْنِ سَبْعِ سِنِيْنَ إِلَى عَشْرٍ فَإِنَّهَا الفَرْجَانِ

وَمُتَوَسِّطَةٌ وَهِيَ : عَوْرَةُ مَنْ عَدَاهُمْ مِنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ

قَالَ تَعَالَى: يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Dan di antara syarat shalat adalah menutup aurat dengan pakaian yang mubah yang tidak menampakkan kulit.

Dan aurat itu ada tiga macam:

Pertama: Mughallazhah (yang berat) yaitu aurat wanita merdeka yang sudah baligh, auratnya dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya.

Kedua: Mukhaffafah (yang ringan) yaitu aurat anak laki-laki berumur tujuh hingga sepuluh tahun, auratnya adalah al-farju (kemaluan: qubul dan dubur, pen.).

Ketiga: Mutawassithah (yang pertengahan) yaitu aurat dari yang tidak termasuk dalam dua di atas, auratnya adalah antara pusar dan lutut.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31).”

 

Aurat Mughallazhah

 

Aurat ini yang paling berat didapati pada wanita yang merdeka dan sudah baligh. Hal ini berbeda dengan budak wanita dan anak perempuan yang belum baligh, auratnya adalah seperti pada aurat mutawassithah.

Namun bukan berarti aurat yang berlaku dalam shalat sama seperti dengan yang di luar shalat. Misalnya, pundak pria mesti ditutup saat shalat, sedangkan di luar shalat boleh terbuka. Sebaliknya, ada yang mesti ditutup di luar shalat, namun boleh terbuka di dalam shalat seperti untuk wajah dari wanita merdeka yang dewasa. Disimpulkan dari perkataan Syaikh As-Sa’di rahimahullah di sini, wanita dewasa dalam shalat boleh membuka wajah kecuali jika hadir laki-laki bukan mahram.

Sedangkan kaki dan tangan ada beda pendapat mengenai boleh membukanya ataukah tidak dalam shalat sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tentang aurat wanita dalam shalat.

 

Aurat Mukhaffafah

 

Maksudnya adalah aurat untuk laki-laki berumur tujuh hingga sepuluh tahun yaitu al-farju (kemaluan: qubul dan dubur), berarti tidak berlaku bagi anak perempuan. Aurat anak perempuan termasuk dalam aurat mutawassithah. Dari sini dapat dipahami bahwa aurat anak di bawah tujuh tahun tidak ada batasan aurat, baik untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Alasannya di antaranya adalah seorang wanita boleh memandikan anak laki-laki kecil (di bawah tujuh tahun). Inilah yang menunjukkan bahwa anak di bawah tujuh tahun tidak ada batasan aurat. Berarti setelah sepuluh tahun, aurat anak laki-laki adalah sama seperti aurat orang dewasa yaitu aurat mutawassithah, antara pusar dan lutut.

 

Aurat Mutawassithah

 

Yang termasuk di dalamnya adalah yang tidak termasuk dalam aurat mughallazhah dan aurat mukhaffafah seperti pada laki-laki dewasa yang merdeka maupun budak (mulai dari sepuluh tahun ke atas), juga perempuan dari usia tujuh hingga sebelum baligh, termasuk pula budak wanita. Aurat mereka semua adalah antara pusar dan lutut. Adapun anak perempuan yang sudah tamyiz (walau belum baligh), auratnya adalah antara pusar dan lutut karena ia masih membuat orang lain tertarik.

 

Jika Terbuka Sebagian Aurat dalam Shalat

 

Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili ketika menerangkan tentang aurat ketika shalat menurut ulama Syafi’iyah, jika sebagian aurat terbuka dalam shalat padahal mampu untuk menutupnya, shalatnya batal. Kecuali jika aurat tersebut tersingkap karena angin atau lupa, lalu ditutup seketika itu juga, shalatnya tidaklah batal. Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1:643.

Dalam Syarh Al-Mumthi’ (2:172), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyimpulkan tentang masalah terbukanya aurat dalam shalat sebagai berikut.

  1. Jika aurat terbuka dengan sengaja, hukum shalatnya batal, baik terbuka sedikit maupun banyak, baik waktunya lama atau hanya sebentar. Misal ada yang membuka lututnya dengan sengaja lantas terbuka paha—menurut yang menganggapnya aurat–, shalatnya dihukumi batal.
  2. Jika aurat terbuka tidak sengaja dan terbukanya sedikit (tidak parah, misal pada paha di atas lutut terlihat sedikit), hukum shalatnya tidaklah batal.
  3. Jika aurat terbuka tidak sengaja, terbukanya parah—disebut faahisy–(seperti pada bagian qubul atau dubur terlihat walau sedikit saja) dan hanya sebentar saja terbuka (lantas ditutup kembali), hukum shalatnya tidaklah batal (menurut pendapat paling kuat).
  4. Jika aurat terbuka tidak sengaja, terbukanya parah dan dalam waktu yang lama, baru diketahui setelah shalat atau setelah salam, hukum shalatnya batal.

 

Demikian pembahasan aurat dalam shalat yang merupakan syarat shalat. Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  1. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Cetakan ke-34, Tahun 1435 H. Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Penerbit Darul Fikr.
  2. Asy-Syarh Al-Mumthi’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’. Cetakan pertama, Tahun 1422 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  3. Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  4. Syarh Manhaj AsSalikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Ditulis di Masjid Pogung Dalangan, 12 Rabi’ul Akhir 1440 H, Kamis Sore

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/19235-manhajus-salikin-syarat-shalat-menutup-aurat-04.html